- / / : 081284826829

Vaksin, Komunikasi, dan Risiko Kesehatan

Inspirasi
PASANG IKLAN DI SINI!
(MURAH SESUAI BUDGET ANDA)
"Inilah cara efektif untuk mengembalikan kehidupan normal!"

Vaksin, Komunikasi, dan Risiko Kesehatan
oleh: Arda Dinata

Kondisi rendahnya cakupan vaksinasi harus jadi perhatian kita. Sebab, semua itu dilakukan untuk mencapai kekebalan komunal atau herd immunity sehingga bisa membuka berbagai sektor, mulai dari pendidikan, perekonomian dan lainnya.

Walau kondisi kekebalan komunal ini tidak hanya dengan program vaksinasi. Namun, menurut Panji Fortuna Hadisoemarto, pakar epidemiologi dari Fakultas Kedokteran Unpad Bandung, vaksinasi ini sangat baik untuk mengontrol pandemi meski tidak bisa mencapai herd immunity dalam jangka pendek. Vaksinasi berjasa membantu mengurangi kematian dan angka kesakitan. 

 

Atas pemikiran itu dan mobilitas vaksin yang ada, maka program vaksinasi dilakukan secara skala prioritas. Bersadarkan laporan jurnal The Lancet Public Health, di Inggris dan Amerika Serikat, melaporkan risiko positif Covid-19 ialah 11 kali lipat lebih tinggi di antara petugas kesehatan garis depan dibandingkan dengan masyarakat umum (Nguyen et al., 2020).

Setelah petugas kesehatan, siapa selanjutnya? Haruskah orang tua, yang paling berisiko terkena penyakit parah dan kematian, menjadi target selanjutnya atau kelompok usia yang paling sering menularkan virus dan paling terlibat dalam fungsi ekonomi masyarakat? 

Saat ini, memprioritaskan orang untuk divaksinasi diputuskan sesuai dengan risiko, maka usia adalah faktor kunci. Orang tua (berusia di atas 65 tahun) memiliki risiko kematian akibat Covid-19 yang jauh lebih tinggi daripada orang muda. Faktor risiko utama lainnya yang memprediksi risiko kematian akibat Covid-19 termasuk adanya penyakit penyerta. Sebuah penelitian dari Inggris menemukan diabetes, asma parah, dan berbagai kondisi medis lainnya, termasuk hipertensi, menjadi faktor risiko kematian terkait Covid-19 (Williamson et al., 2020).

Tapi, jika penularan ingin dihentikan, menargetkan pekerja yang berisiko tinggi terinfeksi dan menularkan maupun yang tidak dapat bekerja dari rumah dan yang berhubungan dengan kelompok berisiko tinggi akan menjadi kuncinya. Ini akan mencakup pekerja di panti jompo, pekerja angkutan umum, dan mereka yang bekerja di industri jasa sehingga hal ini akan bervariasi pengaturan vaksinasinya (Russell and Greenwood, 2021).

Strategi komunikasi 

Menurut WHO, salah satu tujuan rencana komunikasi vaksin Covid-19 adalah untuk mencapai penerimaan dan serapan yang tinggi. Penerimaan vaksin Covid-19 secara global saat ini adalah sekitar 35% hingga 98%. Hal ini, tentu perlunya pembuat kebijakan untuk memahami persepsi publik sebelum vaksinasi skala besar dilaksanakan.

Alasannya, persepsi beratnya pandemi Covid-19 itu terkait dengan kesadaran masyarakat akan risiko dan mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam upaya pencegahan penyakit. Semakin tinggi persepsi masyarakat tentang tingkat keparahan Covid-19, maka semakin tinggi pula kemauan untuk melakukan tindakan pencegahan. Berdasarkan teori ini menunjukkan bahwa persepsi keparahan dan ketakutan tertular Covid-19 secara positif terkait dengan penerimaan vaksin (Schwarzinger et al., 2021).

Lebih jauh, meski vaksin dan praktik perilaku perlindungan kesehatan pribadi (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak sosial) adalah tindakan yang direkomendasikan pemerintah. Nyatanya, proses pengambilan keputusan untuk vaksinasi itu rumit dan berpotensi dipengaruhi berbagai faktor seperti kepercayaan pada pemerintah, pengaruh sejarah, dan agama.

Untuk itu, perlu dikembangkan terkait strategi komunikasi risiko dari program vaksinasi tersebut agar cakupan penerimaan vaksinasi menjadi lebih meningkat. Terkait ini, WHO memberi kata kunci bagaimana kita membangun kepercayaan, transparansi, mengumumkan lebih awal, mendengarkan, dan merencanakan komunikasi dengan baik.

Ada lima konsep kunci dalam strategi komunikasi risiko, yaitu: (1) Persepsi terhadap risiko biasanya berdasarkan emosi dan dipengaruhi oleh faktor lokal dan budaya; (2) Orang mengerti sesuai pengalaman mereka sendiri, karena itu komunikasi risiko harus disesuaikan dengan konteks di masyarakat; (3) Manusia sering kali menampilkan “perilaku kawanan” (herdbehaviour) dan mengikuti pemimpin dalam keadaan darurat. Penting untuk melibatkan para pimpinan komunitas, baik yang formal maupun nonformal; (4) Perubahan perilaku itu sebuah proses sehingga perlu berbagai pendekatan komunikasi yang secara strategis dan diulang terus melalui berbagai aluran komunikasi; (5) Dalam keadaan darurat, masyarakat berada dalam keadaan ketakutan dan tidak selalu berpikir rasional. Oleh karena itu, komunikasi risiko perlu menarik hati dan naluri masyarakat sasaran.

Pedoman komunikasi risiko

Tahun ini, Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan pedoman komunikasi risiko untuk penanggulangan krisis kesehatan yang digunakan oleh para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan yang bertanggungjawab mengelola komunikasi bidang krisis kesehatan di daerah.

Ada lima pilar untuk memperkuat komunikasi risiko kedaruratan kesehatan. Pertama, struktur yang berkelanjutan, terdiri dari unit komunikasi risiko; rencana aksi untuk komunikasi risiko; anggaran khusus untuk kesiapsiagaan dan respons; dan peningkatan kapasitas yang terlembagakan dan berkelanjutan.

Kedua, adanya kemitraan. Yakni, satuan tugas nasional dengan mitra (lintas sektor dan lintas program); berbagi sumber daya yang terkoordinasi; SOP komunikasi yang terkoordinasi dan berfungsi saat keadaan darurat.

Ketiga, penguatan komunikasi publik. Langkahnya berupa sosialisasi untuk meningkatan kepekaan media terhadap kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat; bermitra dengan media; pelatihan juru bicara kegawatdaruratan; dan SOP komunikasi publik saat kegawatdaruratan.

Keempat, pelibatan masyarakat. Bentuknya berupa pelibatan tokoh masyarakat atau orang yang berpengaruh di masyarakat; peningkatan kapasitas komunikasi risiko bagi petugas kesehatan yang berada di garda terdepan; dan adanya sistem untuk bermitra dengan masyarakat saat kegawatdaruratan.

Kelima, mendengarkan. Di sini, perlu pengembangan sistem pemantauan komunikasi untuk mendeteksi kebutuhan informasi/berita maupun informasi tentang rumor atau hoaks; merencanakan manajemen rumor, termasuk media sosial; serta mengembangkan kapasitas dan sumber daya untuk melawan hoaks.

Akhirnya, apapun strategi komunikasi risiko yang diambil pemerintah haruslah fokus untuk mengatasi Covid-19. Dalam bahasa Russell dan Greenwood, cara efektif untuk mengembalikan kehidupan normal ialah vaksin Covid-19 yang mencegah penyakit, infeksi tanpa gejala, dan menghentikan penularan. Namun, ketika pasokan vaksin tidak dapat memenuhi permintaan, keputusan tentang siapa yang akan divaksinasi harus dibuat secara adil sesuai sifat vaksin dan apa yang diinginkan. Apakah mengurangi keparahan penyakit, pemutusan penularan, atau keduanya?*** 

Arda Dinata, Peneliti Badan Litbangkes Kemenkes RI, tinggal di Pangandaran.

Bagi pembaca yang ingin berbagi inspirasi dan motivasi dengan Penulis hubungi

Blog: www.ArdaDinata.com   FB: ARDA DINATA 

Twitter: @ardadinata Instagram: @arda.dinata Telegram: ardadinata 

WWW.ARDADINATA.COM